1. Pengertian dari Anti
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
“Antitrust” untuk pengertian yang
sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai
masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”
Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”,
“kekuatan pasar” istilah“ dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan
untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana
dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan
terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk
tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum
tentang permintaan dan penawaran pasar.
Persaingan usaha tidak sehat
maksudnya dimana suatu perusahaan melakukan suatu usaha dengan tidak sehat bisa
dengan cara mengurangi bahan produksinya untuk memperoleh lebih banyak
keuntungan tanpa memikirkan konsumennya yang ia mau hanyalah suatu perusahaan
yang ia dirikan menjadi lebih profit dibanding sebelumnya.
Dalam Pasal 1 angka (2) UU
Antimonopoli dijelaskan, bahwa praktek monopoli adalah sebuah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum, sedangkan persaingan usaha dalam Pasal 1 angka (6) disebutkan
sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur
atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Pengertian Praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek
monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah
satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya
menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era globalisasi dunia
dan demokrasi ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang
ini juga mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang
dapat merugikan kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini
dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi
tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan
pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para pesaingnya.
Semua ini bertujuan untuk mendorong
upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka
menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat, memperluas peluang usaha di dalam
negeri (domestik) dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki
pasar tanah air yang terbuka dalam rangka perdagangan bebas (free trade).
2. Azas dan Tujuan
Azas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No.
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh
kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan
persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, adalah sebagai berikut:
1. Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim
usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat, sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha
besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan
oleh pelaku
usaha.
4. Terciptanya
efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
3. Kegiatan yang
dilarang
Kegiatan yang dilarang berposisi
dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal
33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti
air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh
dikuasai swasta sepenuhnya.
Kegiatan yang dilarang lainnya dalam anti monpoli dan
persaingan usaha tidak sehat antara lain:
Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha.
Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak
sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang
bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar
yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu menolak
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar yang bersangkutan.
Persekongkolan
kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
Posisi Dominan
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan
posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang
dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan.
Jabatan Rangkap
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa
seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau
komisaris pada perusahaan lain.
Pemilikan Saham
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa
pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang
sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
4. Perjanjian yang
Dilarang
Jika dibandingkan dengan pasal 1313
KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai
subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai
suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun
tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan
”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih
sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti
Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih
belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1
Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk
tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang
lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive
behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari
Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999
tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
Oligopoli Pasar
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999, oligopoli dikelompokkan
ke dalam kategori perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi
melalui keterkaitan reaksi, khususnya pada barang-barang yang bersifat homogen
atau identik dengan kartel.
Penetapan harga
Dalam penetapan harga
harus sama ditentukan oleh pasar agar harganya sama.
Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang
sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Kartel
Kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga,
untuk membatasi suplai dan kompetisi.
Trust
Bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam
suatu pasar komoditas.
Integrasi vertikal
Bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa.
Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di
luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5. Hal-hal yang
dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun
1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :
Pasal 50
perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual
seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba;
perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau
jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau
perbaikan standar hidup masyarakat luas;
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor
yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk
melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup
orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur
dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau
badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
6. Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di
masyarakat:
Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai
price taker
Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen
menentukan pilihan
Efisiensi alokasi sumber daya alam
Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi
kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah
meningkatkan kualitas dan layanannya
Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas
maupun biaya produksi
Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi
lebih banyak
Menciptakan inovasi dalam perusahaan
7. Sanksi
Sanksi Administrasi Sanksi
administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian
integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi
dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan
badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda
serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima
miliar rupiah.
Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha
melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan
monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan
saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua
piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan
untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan
persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan
maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang
dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai
dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
pencabutan izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian pada pihak lain.
Sanksi dalam anti
Monopoli diatur dalan pasal 36 , pasal 48 serta pasal 49 yang mempunyai
arti:
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah
melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai
ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di
pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli.
Pasal 48:
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai
dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal
28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang
ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar
rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa:
Pencabutan izin usaha
Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun
Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnva kerugian pada pihak lain. Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti
Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang
berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
Kesimpulan
Jadi dengan adanya UU, pihak konsumen merasa aman karena
dapat dilindungi dari produk barang/jasa para produsen yang tidak berkualitas
dan merugikan masyarakat. Perlindungan usaha lemah dan konsumen diutamakan
untuk menciptakan harmonisasi usaha yang sehat pada kegiatan bisnis. Dan juga
ada jaminan kepastian hukum untuk dapat mencegah praktek monopoli dan
persaingan tidak sehat dalam mobilitas perekonomian, sehingga dapat tercipta
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha yang dapat meningkatkan
efisiensi nasional sebagai salah satu cara dalam meningkatkan kesejahteraan
rakyat serta menarik minat penanam modal baik dalam dan luar negeri.
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar