Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
“Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.”
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
“Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.”
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

 Cara –cara penyelesaian sengketa :
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1.      Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2.      Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3.      Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka. Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
·         Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
·         2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

1. NEGOSIASI
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak – pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.

Beberapa pengertian Negosiasi
Proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap dan perilaku orang lain.
Proses untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain.
Negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.

Pola Perilaku dalam Negosiasi
Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

Keterampilan Negosiasi
Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.
Fungsi Informasi dan Lobi dalam Negosiasi
Informasi memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki informasi biasanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
Dampak dari gagasan yang disepakati dan yang akan ditawarkan sebaiknya dipertimbangkan lebih dulu.
Jika proses negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu/ kedua pihak, maka lobyingdapat dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan yang lebih terbuka.

2. MEDIASI
Pengertian Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.

Prosedur Untuk Mediasi
Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.

Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
Netral
Membantu para pihak tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Tugas Mediator
Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

3. ARBITRASE
Pengertian Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.

Azas- Azas Arbitrase
Azas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
Azas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
Azas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
Azas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.

Tujuan Arbitrase
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.

4. PERBANDINGAN ANTARA PERUNDINGAN, ARBITRASE DAN LIGITASI
Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
Ligitasi
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
2. Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
3.Kurangnya kepastian hokum Hakim yang “awam”
Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)


Perbedaan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi

Proses
Perundingan
Arbitrase
Ligitasi
yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
proses
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
jangka waktu
Segera (3-6 minggu)
Agak cepat (3-6 bulan)
Lama (>2 tahun)
biaya
Murah
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal
aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal & teknis
publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
hubungan para pihak
Kooperatif
Anatgonistis
Antagonistis
fokus penyelesaian
Masa depan
Masa lalu
Masa lalu
metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu
Jalan buntu
result
Win-win
Win-lose
Win-lose
pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
suasana emosional
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak


Referensi :
1. Pengertian dari Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” istilah“ dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Persaingan usaha tidak sehat maksudnya dimana suatu perusahaan melakukan suatu usaha dengan tidak sehat bisa dengan cara mengurangi bahan produksinya untuk memperoleh lebih banyak keuntungan tanpa memikirkan konsumennya yang ia mau hanyalah suatu perusahaan yang ia dirikan menjadi lebih profit dibanding sebelumnya.
Dalam Pasal 1 angka (2) UU Antimonopoli dijelaskan, bahwa praktek monopoli adalah sebuah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum, sedangkan persaingan usaha dalam Pasal 1 angka (6) disebutkan sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era globalisasi dunia dan demokrasi ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para pesaingnya.
Semua ini bertujuan untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat, memperluas peluang usaha di dalam negeri (domestik) dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka perdagangan bebas (free trade).

2. Azas dan Tujuan
Azas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut:
  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
      salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
      sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
      pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
  3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan
      oleh pelaku usaha.
  4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

3. Kegiatan yang dilarang
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.

Kegiatan yang dilarang lainnya dalam anti monpoli dan persaingan usaha tidak sehat antara lain:
Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.

Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
Persekongkolan
kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).

Posisi Dominan
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan.

Jabatan Rangkap
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.

Pemilikan Saham
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.

4. Perjanjian yang Dilarang
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :

Oligopoli Pasar
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999, oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan reaksi, khususnya pada barang-barang yang bersifat homogen atau identik dengan kartel.

Penetapan harga
Dalam penetapan harga  harus sama ditentukan oleh pasar agar harganya sama.

Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

Kartel
Kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi.

Trust
Bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 

Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

Integrasi vertikal
Bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa.

Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

5. Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli

Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :

Pasal 50
perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; 
kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.


6. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
Efisiensi alokasi sumber daya alam
Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
Menciptakan inovasi dalam perusahaan

7. Sanksi
Sanksi Administrasi Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
pencabutan izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Sanksi dalam anti  Monopoli diatur dalan pasal 36 , pasal 48 serta pasal 49 yang mempunyai arti:
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli.

Pasal 48:
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
Pencabutan izin usaha
Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun
Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain. Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

Kesimpulan
Jadi dengan adanya UU, pihak konsumen merasa aman karena dapat dilindungi dari produk barang/jasa para produsen yang tidak berkualitas dan merugikan masyarakat. Perlindungan usaha lemah dan konsumen diutamakan untuk menciptakan harmonisasi usaha yang sehat pada kegiatan bisnis. Dan juga ada jaminan kepastian hukum untuk dapat mencegah praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dalam mobilitas perekonomian, sehingga dapat tercipta efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha yang dapat meningkatkan efisiensi nasional sebagai salah satu cara dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menarik minat penanam modal baik dalam dan luar negeri.


Referensi :

1. PENGERTIAN KONSUMEN
Pengertian Konsumen
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
Pasal 1 butir 2 :
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Menurut Hornby :
“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Didalam realitas bisnis seringkali dibedakan antara :
·         Consumer (konsumen) dan Custumer (pelanggan).
o   Konsumen adalah semua orang atau masyarakat. Termasuk pelanggan.
o   Pelanggan adalah konsumen yang telah mengkonsumsi suatu
o   produk yang di produksi oleh produsen tertentu.
·         Konsumen Akhir dengan Konsumen Antara :
o   Konsumen akhir adalah Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya;
o   Konsumen antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya.

Pengertian Perlindungan Konsumen
Sedangkan pengertian perlindungan konsumen yaitu :
·         Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 : “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
·         GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a: “pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen.”

Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen adalah :“Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”.
Jadi, kesimpulan dari pengertian –pengertian diatas adalah :
Bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak seimbang.

2. AZAS DAN TUJUAN
Tujuan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang no. 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan ini adalah :

    * Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
    * Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
    * Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
    * Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
    * Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
    * Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.


Azas Perlindungan Konsumen
Adapun Azas perlindungan konsumen antara lain :

    * Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
    * Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
    * Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
    * Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
    * Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

3. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah :

    * Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
    * Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
    * Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
    * Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
    * Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
    * Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
    * Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
    * Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
    * Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen
Tidak hanya bicara hak, Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga memuat kewajiban konsumen, antara lain :

    * Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
    * Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
    * Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
    * Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


4. HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA

Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang perlindungan konsumen  adalah:
Ø  hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
Ø  hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
Ø  hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
Ø  hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
Ø  hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang perlindungan konsumen  adalah:
Ø  beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
Ø  memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
Ø  memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Ø  menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
Ø  memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
Ø  memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Ø  memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

5. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
1) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a.Tidak sesuai dengan :
ü  standar yang dipersyaratkan;
ü  peraturan yang berlaku;
ü  ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b.Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang  dan/atau jasa yang menyangkut :
ü  berat bersih;
ü  isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
ü  kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
ü  mutu, tingkatan, komposisi;
ü  proses pengolahan;
ü  gaya, mode atau penggunaan tertentu;
ü  janji yang diberikan;
c.Tidak mencantumkan :
ü  tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
ü  informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
d.Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan   dalam label
e.Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
ü  Nama barang;
ü  Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
ü  Tanggal pembuatan;
ü  Aturan pakai;
ü  Akibat sampingan;
ü  Nama dan alamat pelaku usaha;
ü  Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat
f.Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
2)Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
a.Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
ü  Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
ü  Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
b.Secara tidak benar dan seolah-olah barang dan/atau jasa tersebut :
ü  Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
ü  Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
ü  Telah tersedia bagi konsumen.
c.Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
d.Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
e.Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
f. Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan.
g.Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
h.Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
3) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan  atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a.Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
b.Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
c.Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
4) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
a.Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
b.Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
c.Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
5) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
6) Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan :
a.Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
b.Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
c.Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
d.Menaikkan harga sebelum melakukan obral.


6. KLAUSAN BAKU DALAM PERJANJIAN
Klausa Baku dalam Perjanjian
Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie klausule exemption clausule) yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.
Menurut Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam suatu perjanjian baku yaitu:
a.menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak” sehingga diharapkan dengan adanya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.
Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.

7.TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut, ”Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang  telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.“          
Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:
1.Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4.Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”

8. SANKSI – SANKSI
Sanksi-sanksi Pelaku Usaha Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sanksi Perdata :
· Ganti rugi dalam bentuk :
   o Pengembalian uang atau
   o Penggantian barang atau
   o Perawatan kesehatan, dan/atau
   o Pemberian santunan
· Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
 
Sanksi Pidana :
· Kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17  ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
* Hukuman tambahan , antara lain :
          o Pengumuman keputusan Hakim
          o Pencabuttan izin usaha;
          o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
          o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
          o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .



Referensi :